Sabtu, 20 Oktober 2012

Workshop Menjadi Sutradara

Sabtu, 10 December 2011 23:08  Bogorplus.com
Selain menggelar Teater Karung dengan tema tawuran topeng, Fakultas Sastra Universitas Pakuan(Unpak) Bogor juga  menggelar workshop mengenai tata cara penyutradaraan film.
Bram Gerung, selaku praktisi kesenian Bogor ikut berpartisipasi sebagai narasumber dalam workshop tersebut. Ia menjelaskan, para mahasiswa dan pelajar harus mempunyai dasar membuat naskah terlebih dahulu sebelum menjadi seorang sutradara. Analisa dibutuhkan untuk menampilkan hal-hal yang ingin diungkapkan dalam naskah.
Namun sebelum menganalisa,  para mahasiswa dan pelajar dianjurkan meninjau dengan cara minimetis atau sesuai dari kejadian secara realis sekaligus cermin kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, jika ditinjau dari pragmatis, maka naskah tersebut akan berbicara dan  langsung mempunyai efek kepada orang lain, misalnya karya yang mengkritisi pemerintahan. Pengarang akan melakukan hal tersebut untuk mengkritisi sebuah pemerintahan dalam format komedi atau pun realis.
Sedangkan, ditinjau dari ekspresi, visi dan ide yang semata-mata ekspresi dari pengarang biasanya ditemukan dalam sebuah naskah yang lebih bersifat ekspresif. Hal tersebut dapat ditemukan dalam karya Suryanis dan absolut yang merupakan ekspresi dari pengarang sehingga menemukan format yang cocok dituangkan ke dalam sebuah media.
  "Hal tersebut lebih banyak digambarkan seperti komedisatir serta yang lainnya dan biasanya efek tersebut langsung dirasakan penonton," jelas pria lulusan Unpak jurusan Hukum tahun 1984, kepada bogorplus.com, Sabtu (10/12/11), di ruang Auditorium Unpak Bogor. Ia menambahkan, dari semua tinjauan baru tersebut, sutradara dapat memilih salah satu kategori yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, naskah yang sudah dibuat dapat menentukan apa persoalannya, pemerannya dan siapa tokoh utamanya, minimal kapan dan apa yang terjadi pada tokoh utama itu.
Naskah tetap berpatokan pada lima W dan satu H (5W+1H) seperti apa, kapan, dimana, siapa, mengapa dan bagaimana. Apabila itu semua dapat terjawab dari sutradara, maka ia pun dapat menentukan siapa pemain yang cocok memerankan tokoh dalam naskah tersebut.
Ia  berharap kepada mahasiswa dan pelajar yang ingin menjadi seorang sutradara, harus mempelajari hal-hal dasar mengenai penyutradaraan dan nantinya dapat menemukan cara untuk memilih pemain serta segala hal yang berhubungan dengan naskah. “Intinya tetap belajar,” tandasnya.
Oleh : Januari Angka

Jumat, 19 Oktober 2012

Gagasan Membangkitkan Seni Rupa Bogor

 

Taman Yasmin|Kotahujan.com-Yana WS, salah satu perupa Bogor awalnya berniat pulang lebih awal dari diskusi Seni Rupa dan Masyarakat Kontemporer yang dilaksanakan di Galeri Rumah Merah, Jl. Yasmin Raya no. 83, Sabtu (14/07/12) kemarin. Tapi salah satu perupa senior di Bogor itu beberapa kali menahan niatnya, meskipun dia sudah berucap pamit.
Diskusi sore hingga malam itu berjalan begitu seru dan menantang, sarat dengan pembelajaran seni rupa yang bersifat akademis dan historis, sekaligus diwarnai perdebatan yang tentunya menyehatkan. Hampir seluruh yang hadir dalam diskusi itu, baik kalangan perupa atau pun bukan, tak meninggalkan tempat duduknya hingga diskusi selesai.
Sesuai dengan tema diskusi, Tomi Faral Alim, ketua Himpunan Perupa Bogor (HPB) mengawali diskusi ini dengan memberikan gambaran perkembangan seni rupa di lingkup nasional dan internasional, yang sudah begitu pesatnya. Dengan membawa beberapa katalog pameran seni rupa, Tomi menjabarkan betapa kreatifitas bisa tercipta secara tak terbayangkan, bahkan jika itu dibuat dari hal-hal yang sangat sederhana.
“Seni rupa kini sudah berkembang begitu jauh. Berbagai variasi dan kolaborasi lintas disiplin sudah banyak dilakukan, hingga kadang kita sulit membedakan mana seni lukis, mana seni instalasi, mana seni patung, dan seterusnya,” tutur Tomi.
Meskipun menimbulkan ambiguitas, kolaborasi antar disiplin itu tidaklah dianggap sebagai sebuah hal yang negatif. Dalam dunia kesenian secara umum, terjadinya percampuran konsep dan bentuk adalah hal yang sering dilakukan seniman untuk menciptakan bentuk baru. Yang terpenting adalah, karya itu tetap bisa dipertanggungjawabkan baik secara estetis maupun etis, sehingga tidak menjadi karya-karya pop yang bersifat pragmatis ambivalen, yang hanya mengutamakan unsur komoditi.
Setelah menggambarkan pesatnya perkembangan seni rupa, pertanyaan yang kemudian muncul tentunya ialah mengenai bagaimana perkembangan seni rupa di Kota Bogor sendiri?
Dilihat dari sumber daya manusia, Bogor memiliki perupa-perupa berkelas nasional bahkan banyak yang sudah terjun ke dunia internasional. Yana WS, Tomi Faral Alim, Ibrahim Basalmah adalah beberapa diantaranya. Dengan potensi semacam itu, Bogor sebenarnya mampu membuat pameran seni rupa yang bersifat eksploitatif dan fenomenal, jadi yang dibutuhkan adalah aksi. Setidaknya begitulah yang diusulkan Cherry Ksn, Ketua Divisi Litbang Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor, serta sutradara teater Dipokersen.
“Kita tidak perlu wait and see. Kita hanya perlu action yang diliputi kegilaan,” ujar Cherry dengan semangat.
Salah satu persoalan di Bogor, seperti disampaikan Tomi, ialah tidak adanya lokasi yang representatif untuk bisa menampung gagasan itu.
“Persoalannya adalah, kita tidak punya tempat. Sampah saja ada tempatnya, apalagi seni,” Tutur Tomi.
Selain persoalan fasilitas, daya cerna masyarakat terhadap karya seni rupa juga harus diperhatikan. Akan menjadi usaha yang tidak maksimal jika kita bicara tentang persoalan posmodernitas sementara masyarakat masih dipusingkan dengan persoalan klasik seperti penggusuran atau konflik ras. Begitu yang diungkapkan Bram Gerung, sineas yang kini sedang berkiprah di dunia teater.
Seniman bisa saja berkonsentrasi pada karyanya semata dan melanglang-buana ke berbagai daerah bahkan ke luar negeri. Tapi seniman yang ideal tidak bisa melepaskan diri persoalan yang terjadi di masyarakat. Tugas seniman, seperti yang diungkapkan Jeffrey Sumampouw, bukan hanya untuk menjadi agent of change tapi juga sebagai leader of change. Seniman tidak hanya mengungkapkan ekspresi atau pemikirannya melalui sebuah karya, tapi juga bagaimana agar karyanya itu bisa dinikmati, dicerna dan dijadikan bahan pembelajaran oleh masyarakat, sebagai upaya pencerdasan.
Kontiunitas dan konsistensi untuk terus berkarya dan membuat upaya memasyarakatkan kesenian bisa menjadi jawaban dari dua persoalan di atas. Potensi yang dimiliki perupa Bogor sebenarnya membuat Bogor siap untuk bersaing dengan kota-kota lain. Langkah-langkah inovatif, progresif dan persuasif harus dilakukan agar bukan hanya seniman atau penggemar seni, tapi masyarakat pun akan ikut tercerdaskan.
Diskusi berjalan secara interaktif dalam suasana kekeluargaan. Sambil duduk lesehan di atas karpet dan menikmati hidangan tradisional, masing-masing pihak memberikan pandangan yang berbeda mengenai persoalan yang dibahas.
Sebuah titik cerah pun muncul. HPB akan mengajak seniman-seniman Bogor untuk meramu pameran seni visual yang menampilkan kolaborasi beragam karya seni mulai dari seni rupa hingga seni pertunjukan.
“Kita akan membuat sebuah perhelatan akbar yang berkaitan dengan multi media, yang bicara dengan beragam unsur seni,” ungkap Tomi.
Usaha ini diharapkan akan memiliki daya tarik dan daya kejut terhadap masyarakat. Namun, Tomi melanjutkan, persoalannya kembali pada fasilitas dan finansial. Selama ini para perupa cenderung bekerja sendiri tanpa bantuan pemerintah. Dan tentunya dibutuhkan usaha serta pengorbanan yang lebih keras untuk merealisasikan gagasan tadi.
Yana WS dan para seniman lainnya pun akhirnya batal pulang dan larut dalam gelas kopi dan obrolan yang lebih mendalam di Galeri Rumah Merah. Dalam satu kesempatan dia berkata bahwa seniman tidak pernah kehabisan ide untuk mengekpresikan perasaan dan pemikirannya. Jadi seniman hanya perlu konsisten terhadap profesinya.
“Jadi, mari kita bekerja.” Tegas Yana.
Husni Mubarrak|Kontributor